Breaking News

Sekda Jadi PJS Bupati Dikhawatirkan Terjadi Konflik Kepentingan

Direktur Eksekutif Lembaga Transparansi Kebijakan (Lens@) Rakyat, H Hafsan Irwan, S. H.

LOTIM BumiGoraMedia.com - Wacana yang dilemparkan Dirjen Otonomi Daerah (OTDA) Kemendagri, Akmal Malik untuk menunjuk Sekretaris Daerah (Sekda) menjadi pejabat sementara (Pjs) Bupati atau Walikota yang daerahnya akan mengikuti pilkada serentak 2024 mendatang mendapat tanggapan dari berbagai kalangan. Salah satunya dari pemerhati kebijakan, Lens@ Rakyat.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Transparansi Kebijakan (Lens@) Rakyat, H. Hafsan Hirwan, S,H, wacana tersebut sebaiknya perlu diluruskan. ‘’Kalau sampai Sekda menjadi Pjs Bupati, dikhawatirkan akan terjadi konflik kepentingan (conlict of interest) dalam masa pemerintahan,’’ ungkapnya pada Senin, (23/082021).

Dirjen memang beranggapan akan terjadi banyak efisiensi dalam hal penunjukan Pjs dimaksud dari pejabat tinggi pratama (PTP) di daerah. ‘’Tetapi seyogyanya tidak berpikir efisiensi saja, tetapi pikirkan juga konflik yang bisa saja menimbulkan cost yang justru lebih besar untuk membiayai rehabilitasi konflik atas hajat efisiensi dimaksud,’’ ujarnya.

Hafsan tidak ingin melihat, misalnya di Lombok Timur, akan terjadi konflik horizontal atau gesekan antar kelompok masyarakat akibat kebijakan yang diambil Pjs bupati. ‘’Kalau terjadi konflik besar, maka biaya yang akan dikeluarkan pemerintah akan lebih besar ketimbang budget yang disiapkan atas nama efisiensi pemerintahan dengan penunjukan Sekda itu,’’ katanya.

Karakteristik di masing-masing daerah otonom, kata Hafsan, mestinya menjadi pertimbangan pihak Kemendagri dalam hal penunjukan Pjs itu. Dia menunjuk contoh kasus penunjukan Sekda, baik di provinsi NTB maupun daerah-daerah lainnya di NTB. Di Lotim, misalnya, duduknya pejabat Sekda saat ini tak dipungkiri atas dasar prerogatif bupati, yang walaupun secara formalnya melalui penjaringan oleh panitia seleksi (Pansel) jabatan tinggi pratama di daerah.

‘’Apakah Anda tidak berpikir kalau Sekda yang sekarang ini akan merasa memiliki tanggung jawab moril untuk memenangkan calon kepala daerah yang sebelumnya merestui dia jadi Sekda?’’ ujarnya. Hal itu bisa saja diwujudkan dalam bentuk kebijakan anggaran, ‘’Apalagi selama menjadi Pjs nanti akan menandatangani APBD selama dua tahun, bukankah cukup signifikan untuk memenangkan pejabat yang sebelumnya membantu dia?’’ tambahnya.

Tidak hanya dalam hal pengelolaan anggaran, sejauh pengamatan Direktur Lensa Rakyat ini, Pjs tersebut nantinya memiliki kewenangan penuh untuk melakukan mutasi pejabat. ‘’Saat mutasi itulah bukan tidak mungkin dibarengi dengan titipan-titipan atau pesan untuk memenangkan salah satu pejabat,’’ tukasnya.

Terhadap titipan-titipan dimaksud, Hafsan mencontohkan, kebijakan anggaran yang dilaksanakan oleh Sekda selaku Pengguna Anggaran (PA) yang nanti akan menjadi Pjs kepala daerah, akan dapat dialokasikan anggaran untuk menyelesaikan janji-janji politik saat dulu kampanye sebagai calon kepala daerah. ‘’Maka dengan demikian conlict of interest tersebut akan semakin kental,’’ katanya. Dia menambahkan, Sekda sendiri merupakan jabatan struktural birokrasi, yang karena jabatannya tersebut tidak diperbolehkan kepadanya untuk kerja-kerja politik praktis. Bupati sendiri adalah jabatan politik. ‘’Lah, saat Sekda nanti jadi Pjs bupati, mau tidak mau dia akan kerja politik. Bagaimana sih ini? Bingung deh,’’ lanjutnya.

Hafsan juga menyoroti pasal 204 UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah tersebut tidak berdiri sendiri, dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya alasan pembenar untuk mencari relevansi penunjukan Sekda sebagai Pjs Bupati/Walikota. ‘’Yang tidak ada dalam pasal tersebut yakni masalah karakteristik masyarakat di suatu daerah. Di Lotim tentu saja berbeda dengan daerah lain,’’ terang dia.

Solusi yang ditawarkan yakni, "biarlah pemerintah pusat menunjuk pejabat yang netral, bisa dari kepolisian, TNI atau pejabat eselon lainnya dari pusat," pungkas Peria gondrong itu. (BM) 

0 Komentar

© Copyright 2022 - BumigoraMedia